Asbes, yang dikenal luas sebagai bahan bangunan tahan lama dan murah, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari banyak hunian dan bangunan di Indonesia.
Penggunaannya yang meluas dimulai sejak tahun 1950-an, dan hingga kini Indonesia tercatat sebagai salah satu negara pengimpor asbes terbesar di dunia.
Namun, di balik manfaat ekonomis dan praktisnya, asbes ternyata menyimpan bahaya kesehatan yang sangat serius, terutama dalam jangka panjang.
Serat asbes yang terlepas dari bahan bangunan, seperti atap atau dinding, memiliki ukuran yang sangat kecil—bahkan lebih tipis dari 1/700 helai rambut manusia, dengan diameter kurang dari 3 mikrometer.
Meskipun ukurannya tidak terlihat oleh mata telanjang, serat ini berpotensi sangat berbahaya ketika terhirup oleh manusia.
Paparan serat asbes dapat menyebabkan berbagai penyakit serius, termasuk asbestosis (penyakit paru-paru), kanker paru-paru, dan mesothelioma, sebuah kanker langka yang menyerang lapisan luar paru-paru dan rongga dada.
Data yang dirilis oleh WHO dan berbagai lembaga kesehatan dunia memperingatkan bahwa setiap tahunnya sekitar 1.600 orang di Indonesia meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan paparan asbes.
WHO juga mencatat bahwa ‘epidemi’ penyakit akibat asbes di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak asbes pertama kali dikonsumsi dalam jumlah besar pada tahun 1950-an.
Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah asbes yang diimpor ke Indonesia meningkat drastis, dengan lebih dari 100.000 ton diimpor setiap tahun antara 2010 hingga 2019.
Pada tahun 2020, Indonesia bahkan menjadi negara pengimpor bahan baku asbes terbesar di dunia. Wow!
Tulisan ini menyoroti bahaya penggunaan asbes di hunian bagi kesehatan manusia, tantangan penghapusan penggunaan asbes di Indonesia, dan langkah-langkah pencegahan penyakit akibat asbes.
Mengapa Asbes Sangat Berbahaya?
Bahaya utama dari asbes adalah serat mikroskopisnya yang sangat halus. Ketika material yang mengandung asbes rusak atau termakan usia, serat-serat ini terlepas ke udara dan dapat dengan mudah terhirup tanpa disadari.
Karena ukurannya yang sangat kecil, serat-serat ini tidak dapat dikeluarkan oleh tubuh melalui batuk atau mekanisme pembersihan alami lainnya, sehingga terperangkap di dalam paru-paru.
Dalam jangka panjang, serat-serat ini menyebabkan peradangan, luka, dan pada akhirnya, dapat mengarah pada kondisi yang mematikan seperti kanker.
Paparan serat asbes tidak menghasilkan dampak kesehatan yang langsung terlihat. Ini adalah bahaya yang bekerja dalam diam, dengan periode laten yang bisa berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, sebelum gejala penyakit muncul.
Hal inilah yang membuat asbes sangat berbahaya, karena banyak orang mungkin tidak menyadari bahwa mereka telah terpapar serat beracun ini hingga penyakit tersebut mulai berkembang.
Tantangan Penghapusan Asbes di Indonesia
Salah satu alasan mengapa penggunaan asbes di Indonesia masih tinggi adalah karena harganya yang terjangkau dan ketersediaannya yang luas.
Di banyak wilayah, asbes menjadi pilihan utama untuk atap rumah dan bangunan karena ketahanannya terhadap cuaca dan harga yang lebih murah dibandingkan alternatif lain. Namun, biaya yang harus kita bayar dalam hal kesehatan jauh lebih mahal.
Kurangnya edukasi mengenai bahaya asbes juga menjadi faktor utama. Banyak masyarakat Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan perkotaan dengan pendapatan rendah, masih belum menyadari risiko kesehatan yang mengintai di balik penggunaan asbes.
Bahkan, beberapa orang masih menggunakan bahan ini untuk renovasi rumah tanpa mengetahui cara aman dalam menangani atau membuang material yang mengandung asbes.
Selain itu, Indonesia belum memiliki regulasi yang ketat terkait penggunaan dan penghapusan asbes. Meski banyak negara telah melarang total penggunaan asbes karena dampak kesehatannya yang mematikan, Indonesia masih tertinggal dalam hal kebijakan terkait.
Serat asbes yang terlepas dari bahan bangunan, seperti atap atau dinding, memiliki ukuran yang sangat kecil—bahkan lebih tipis dari 1/700 helai rambut manusia, dengan diameter kurang dari 3 mikrometer.
Meskipun ukurannya tidak terlihat oleh mata telanjang, serat ini berpotensi sangat berbahaya ketika terhirup oleh manusia.
Paparan serat asbes dapat menyebabkan berbagai penyakit serius, termasuk asbestosis (penyakit paru-paru), kanker paru-paru, dan mesothelioma, sebuah kanker langka yang menyerang lapisan luar paru-paru dan rongga dada.
Data yang dirilis oleh WHO dan berbagai lembaga kesehatan dunia memperingatkan bahwa setiap tahunnya sekitar 1.600 orang di Indonesia meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan paparan asbes.
WHO juga mencatat bahwa ‘epidemi’ penyakit akibat asbes di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak asbes pertama kali dikonsumsi dalam jumlah besar pada tahun 1950-an.
Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah asbes yang diimpor ke Indonesia meningkat drastis, dengan lebih dari 100.000 ton diimpor setiap tahun antara 2010 hingga 2019.
Pada tahun 2020, Indonesia bahkan menjadi negara pengimpor bahan baku asbes terbesar di dunia. Wow!
Tulisan ini menyoroti bahaya penggunaan asbes di hunian bagi kesehatan manusia, tantangan penghapusan penggunaan asbes di Indonesia, dan langkah-langkah pencegahan penyakit akibat asbes.
Mengapa Asbes Sangat Berbahaya?
Bahaya utama dari asbes adalah serat mikroskopisnya yang sangat halus. Ketika material yang mengandung asbes rusak atau termakan usia, serat-serat ini terlepas ke udara dan dapat dengan mudah terhirup tanpa disadari.
Karena ukurannya yang sangat kecil, serat-serat ini tidak dapat dikeluarkan oleh tubuh melalui batuk atau mekanisme pembersihan alami lainnya, sehingga terperangkap di dalam paru-paru.
Dalam jangka panjang, serat-serat ini menyebabkan peradangan, luka, dan pada akhirnya, dapat mengarah pada kondisi yang mematikan seperti kanker.
Paparan serat asbes tidak menghasilkan dampak kesehatan yang langsung terlihat. Ini adalah bahaya yang bekerja dalam diam, dengan periode laten yang bisa berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, sebelum gejala penyakit muncul.
Hal inilah yang membuat asbes sangat berbahaya, karena banyak orang mungkin tidak menyadari bahwa mereka telah terpapar serat beracun ini hingga penyakit tersebut mulai berkembang.
Tantangan Penghapusan Asbes di Indonesia
Salah satu alasan mengapa penggunaan asbes di Indonesia masih tinggi adalah karena harganya yang terjangkau dan ketersediaannya yang luas.
Di banyak wilayah, asbes menjadi pilihan utama untuk atap rumah dan bangunan karena ketahanannya terhadap cuaca dan harga yang lebih murah dibandingkan alternatif lain. Namun, biaya yang harus kita bayar dalam hal kesehatan jauh lebih mahal.
Kurangnya edukasi mengenai bahaya asbes juga menjadi faktor utama. Banyak masyarakat Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan perkotaan dengan pendapatan rendah, masih belum menyadari risiko kesehatan yang mengintai di balik penggunaan asbes.
Bahkan, beberapa orang masih menggunakan bahan ini untuk renovasi rumah tanpa mengetahui cara aman dalam menangani atau membuang material yang mengandung asbes.
Selain itu, Indonesia belum memiliki regulasi yang ketat terkait penggunaan dan penghapusan asbes. Meski banyak negara telah melarang total penggunaan asbes karena dampak kesehatannya yang mematikan, Indonesia masih tertinggal dalam hal kebijakan terkait.
Pemerintah harus segera memberlakukan aturan yang lebih tegas dan efektif untuk membatasi penggunaan asbes, sambil mendorong masyarakat untuk beralih ke alternatif yang lebih aman.
Langkah-langkah Pencegahan
Meski risiko yang ditimbulkan oleh asbes sangat besar, ada beberapa langkah yang bisa kita ambil untuk mengurangi paparan dan mencegah dampak negatif terhadap kesehatan.
Pertama, pastikan bahwa bahan bangunan yang mengandung asbes tetap dalam kondisi baik. Bahan yang mengalami kerusakan, seperti retak atau pelapukan, lebih mudah melepaskan serat asbes ke udara.
Rutin memeriksa dan mengganti bahan yang rusak adalah salah satu cara efektif untuk mencegah penyebaran serat asbes di lingkungan sekitar.
Kedua, hindari melakukan kegiatan yang melibatkan asbes, seperti memotong atau mengamplas bahan yang mengandung asbes.
Proses tersebut dapat menghasilkan debu yang mengandung serat asbes dan meningkatkan risiko terhirup oleh manusia.
Ketiga, sangat penting untuk tidak membuang sembarangan material yang mengandung asbes. Proses pemusnahan bahan ini harus dilakukan oleh tenaga profesional yang terlatih untuk memastikan bahwa serat asbes tidak mencemari lingkungan atau membahayakan kesehatan masyarakat.
Keempat, jika Anda harus bekerja dengan bahan yang mengandung asbes, pastikan untuk selalu menggunakan alat pelindung diri, terutama masker khusus yang dirancang untuk melindungi dari paparan partikel mikroskopis.
Edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya perlindungan diri saat bekerja dengan asbes juga harus terus digencarkan.
Kesimpulan
Sebagai penutup: Bahaya asbes tidak boleh lagi diabaikan. Meskipun Indonesia saat ini masih bergantung pada asbes sebagai bahan bangunan, risiko kesehatan jangka panjang yang ditimbulkan oleh penggunaannya terlalu besar untuk diabaikan.
Sudah saatnya pemerintah, industri, dan masyarakat bersama-sama mengambil langkah tegas untuk membatasi, bahkan menghentikan, penggunaan asbes.
Edukasi mengenai bahaya asbes, regulasi yang ketat, dan pengembangan alternatif bahan bangunan yang lebih aman harus menjadi prioritas.
Dengan demikian, kita bisa melindungi kesehatan generasi saat ini dan yang akan datang dari ancaman bahaya asbes yang mematikan.
Edukasi mengenai bahaya asbes, regulasi yang ketat, dan pengembangan alternatif bahan bangunan yang lebih aman harus menjadi prioritas.
Dengan demikian, kita bisa melindungi kesehatan generasi saat ini dan yang akan datang dari ancaman bahaya asbes yang mematikan.
cb78sh