
JAKARTA – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada tahun anggaran 2023 juga akan menambah jumlah kuota penerima bantuan pembiayaan perumahan.
Di mana program ini melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi 220 ribu unit, Penambahan kuota ini akan diikuti dengan penambahan anggaran dari tahun 2022 sebesar Rp23 triliun menjadi Rp25,18 triliun.
Program FLPP tahun 2023 akan didampingi dengan program Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) dengan jumlah sama 220.000 unit sebesar Rp0,89 triliun dan program Subsidi Selisih Bunga (SSB) sebanyak 754.004 unit senilai Rp3,46 triliun.
Country Manager Rumah.com, Marine Novita mengatakan dengan adanya berbagai kebijakan dan stimulus dari Pemerintah untuk sektor properti perumahan terutama untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Namun penyaluran stimulus tersebut dinilai perlu perluasan subsidi untuk kelas menengah agar tidak hanya fokus pada MBR saja.
“Perlunya perluasan tersebut mengingat kelas menengah selama ini tidak terjangkau fasilitas subsidi namun penghasilannya masih pas-pasan untuk mencicil rumah non-subsidi. Apalagi berdasarkan data pencarian properti di terlihat bahwa minat konsumen terhadap properti di harga menengah terus meningkat. Situasi ini perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan Pemerintah sehingga memungkinkan lebih banyak kelas menengah untuk bisa memiliki hunian,” ujarnya melalui keterangan resmi yang diterima Minggu (2/10/2022).
Adapun data pencarian propert menunjukkan bahwa sepanjang kuartal II-2022 terhadap properti dengan harga di atas Rp1 miliar mendominasi sebesar 55%, padahal dalam periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 50%.
Di saat yang sama, pencarian pada rentang harga di bawah 300 juta terus menurun.
Sepanjang kuartal II-2022 hanya 13% padahal kuartal II-2021 sebanyak 17%.
“Hal ini tentu tidak lepas dari keberadaan skema subsidi dari pemerintah di mana batas atas harga ditetapkan kisaran Rp160 juta. Artinya, pencarian rumah di semakin mengerucut ke tengah,” jelasnya.
Sementara itu, pencari rumah dengan kemampuan membeli lebih besar mencari perumahan dengan akses yang lebih terkoneksi, lokasi yang lebih strategis, dan fasilitas yang lebih banyak, sehingga harganya pun menjadi semakin mahal.
“Dari fakta tersebut, kami menyimpulkan perlunya Pemerintah memperhatikan kelas menengah yang kebutuhan perumahannya juga perlu untuk dipenuhi sekaligus dengan tetap memperhatikan aspek fasilitas, akses, dan bangunan yang lebih sesuai untuk kelas menengah tersebut,” ucapnya.
Pihaknya ingin mendukung segala upaya untuk menjawab kebutuhan milenial kelas menengah.
Mengingat mereka memiliki horizon usia produktif yang masih panjang sehingga salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan memilih durasi tenor cicilan yang lebih lama.
Namun beban bunga kredit masih menjadi masalah di mana saat ini rata-rata di kisaran 7,8% tentu akan terasa besar dengan jangka waktu pinjaman lebih lama.
Di tengah kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) atau suku bunga acuan sebesar 50 bps ke angka 4,25%, Marine berpendapat kenaikan ini belum tentu langsung berpengaruh terhadap suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR), mengingat selama 4 tahun terakhir, kenaikan suku bunga BI.
Biasanya hanya sementara dan secara historis tidak memengaruhi suku bunga KPR yang trennya juga terus turun.
“Sebagai contoh, di tengah kenaikan suku bunga acuan mulai April 2018 hingga November 2018 dari 4,25% hingga ke 6% ternyata tidak diikuti dengan naiknya suku bunga KPR yang dalam periode tersebut malah turun dari 9,7% ke angka 9,25%. Lain halnya jika kenaikan the fed dan nilai tukar dollar berlangsung lebih lama, disertai inflasi, serta kenaikan cost of fund industri perbankan,” katanya.
Pentingnya perluasan subsidi perumahan bagi kelas menengah mengingat harga rumah saat ini di atas kemampuan mereka.
Sebagai contoh, penghasilan kelas menengah di Jabodetabek berada pada rentang Rp7-15 juta.
Dengan penghasilan tersebut, berdasarkan Kalkulator Keterjangkauan, idealnya mereka mencicil rumah dengan harga Rp500 jutaan
Namun data Rumah.com Indonesia Property Market Index kuartal III-2022 menunjukkan bahwa harga properti di kawasan Jabodetabek untuk tipe 36/72 berada pada kisaran Rp600 jutaan, sehingga di atas kemampuan sebagian besar kelas menengah.
Situasi tersebut membutuhkan kebijakan atau stimulus Pemerintah agar lebih banyak kelas menengah yang bisa memiliki hunian.
Secara legalitas, payung hukum dan instrumen untuk skema kepemilikan rusun tersebut sudah ada, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2021 tentang Bentuk dan Tata Cara Penerbitan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG) sehingga memungkinkan kepemilikan rusun selama 60 tahun.
“Pola pikir bahwa kepemilikan untuk selamanya juga perlahan harus berubah, tentunya dengan didukung oleh kepastian dalam penegakan hukum yang menjamin rasa aman selama masa hak kepemilikan tersebut. Oleh karena itu perlu kehadiran Pemerintah baik melalui kebijakan maupun stimulus untuk membantu kelas menengah memiliki rumah sebagaimana subsidi untuk MBR,” pungkasnya.